Masalah gender merupakan masalah pelik di masyarakat. Banyak orang yang tidak mengerti konsep dalam gender tetapi mereka berani berpendapat secara lantang. Hal ini yang kemudian berujung dengan adanya kesalahpahaman konsep dan pandangan yang apabila tidak diluruskan akan terus menerus melahirkan kesalahan di masa yang akan datang. Gender sendiri merupakan suatu ketetapan yang bisa diubah, artinya hal tersebut berbeda dengan kodrat. Yang sering terjadi di masyarakat adalah bahwa adanya marginalisasi peran perempuan di dalam semua aspek masyarakat yang pada akhirnya berujung pada keterbelakangan perempuan dalam pandangan masyarakat. Perempuan sering dipandang sebagai pihak yang lemah dan juga dianggap sebagai bayang-bayang dari laki-laki saja. Hak mereka sering terabaikan dan juga dihilangkan dengan berbagai alasan yang memang sengaja dibentuk untuk memarginalkan pihak perempuan. Bahkan yang lebih parah sepertinya norma di masyarakat dan agama pun juga mengamini atau secara langsung mendukung hal tersebut. Walaupun memang tidak didukung dalam hal yang bersifat negatif tetapi paling tidak ada unsur utama dalam masyarakat yang menguatkan hal tersebut. Perempuan pada akhirnya sering dipandang hanya “kanca wingking” yang harus selalu di belakang pihak laki-laki baik dalam pengambilan keputusan maupun dalam hal lain. Perempuan seolah-olah hanya mempunyai tugas “macak, masak, manak” dan tidak lebih dari itu. Hal itu yang kemudian banyak menimbulkan kemelut di dalam masyarakat ini dan banyak menimbulkan kontroversi dalam kehidupan.
Dalam perkembangan era sekarang ini perempuan sudah mulai mengerti akan pentingnya hak mereka di masyarakat. Mereka sudah tidak mau lagi dianggap remeh atau dianggap lemah dari pihak laki-laki. Tak ada lagi marginalisasi perempuan atau pihak yang tersubordinasikan. Mereka sekarang sudah mulai ingin menunjukkan eksistensinya di dalam masyarakat dan ingin menujukkan bahwa mereka jauh lebih baik dari laki-laki atau paling tidak menunjukkan bahwa mereka bisa sama kedudukannya dengan kaum laki-laki. Hal itu juga kemudian berlaku dalam urusan pekerjaan perempuan. Mereka sering dihadapkan dengan pilihan antara bekerja di sektor publik atau justru mereka akan mengambil keputusan bekerja di lingkungan domestik saja yang artinya mereka hanya akan mengurus rumah tangga. Banyak perempuan yang kemudian memilih lingkungan domestik saja karena ada ketakutan apabila mereka memilih sektor publik nantinya urusan rumah tangga mereka akan berantakan. Bahkan yang lebih parah nantinya adanya ketakutan terjadinya perceraian akibat tidak seimbangnya antara urusan publik dan domestik yang ia jalani. Tak urung hal ini kemudian menjadi momok tersendiri apabila mereka lebih meilih sektor publik. Karena memang faktanya hal itu banyak terjadi di masyarakat dan itu memang sulit dihilangkan dalam budaya masyarakat kita. Selain itu ada satu hal lagi yang mengakibatkan perempuan urung memilih sektor publik yaitu budaya keluarga. Dari ia kecil sudah dibentuk anggapan bahwa perempuan tidak harus sekolah tinggi karena pada akhirnya juga ia hanya akan mengurus rumah tangga saja. Hal itu kemudian memberikan pesan bahwa perempuan sewajarnya hanya mengurus rumah tangga saja dan menjadi hal yang tabu apabila sampai ia lebih memilih bekerja di sektor publik. Adanya sangsi sosial dari masyarakat juga ambil bagian dengan maslaha seperti itu. Sangsi ini berbentuk cibiran, ejekan, atau hal-hal lain yang tidak mengenakkan bagi perfempuan itu sendiri.
Saat ini sudah banyak perempuan yang aktif dalam sektor publik. Mereka sudah tidak ragu lagi untuk menentukan pilihan itu. Hal ini terutama terjadi pada perempuan yang memiliki tingkat pendidikan tinggi dan juga mengerti mengenai konsep gender yang sebenarnya. Mereka sudah berani mengambil keputusan yang menurut mereka benar. Mereka sudah menjadi inidividu yang ingin menunjukkan eksistensi dan kemampuannya dalam urusan terkait kepentingan masyarakat. Walaupun juga masih banyak perempuan yang pada akhirnya tunduk menjalani rutinitas dalam sektor domestik karena memang tidak ada kemampuan yang kuat dan dukungan yang besar dari lingkungan sekitarnya.
Hal terkait adanya motivasi dari perempuan yang ingin menunjukkan bahwa ia mampu dan tidak kalah dengan kaum laki-laki tergambar dari contoh berikut ini :
Sebuah film menarik berjudul ” Monalisa Smile ” karya sutradara Mike Newell mengangkat tema tersebut dengan sudut pandang yang berbeda. Dalam film tersebut tokoh dosen bernama Katherine Watson yang diperankan dengan luar biasa oleh Julia Robert mengajar di sebuah universitas khusus wanita yang paling konservatif di Amerika saat itu. Adalah wanita mandiri yang berpikiran maju dan ingin mengubah keadaan konservatif tersebut. Berlatar sekitar tahun 1953, di Amerika ketika wanita pada saat itu masih terisolasi dalam pola pikir tradisional yang membatasi gerakan wanita untuk dapat terus maju dan berkembang dalam hal ini menuntut ilmu lebih tinggi. Pada saat itu wanita atau murid-muridnya dilegalkan atau lebih baik jika setelah lulus mereka harus menikah, berkeluarga dan mengurus anak-anak. Itu yang mereka sebut kodrat. Katherine Watson tidak begitu setuju dengan keadaan itu dan dalam setiap pertemuan mengajar sedikit demi sedikit ia sisipkan rasa pertentangan terhadap sistem tersebut. Seorang muridnya yang sangat cerdas yang ingin (sebenarnya ia hanya berandai-andai) masuk sekolah hukum di Yale. Dengan bantuan dosen itu ia diterima. Tapi di saat terakhir ia melepaskan kursi yang ia dapat di Yale dan memutuskan untuk menikah dengan pacarnya. Itu pilihannya. Sang murid yang bernama Jane berkata ” Dengan menjadi Ibu Rumah Tangga itu tidak akan mengurangi kepintaran dan kecerdasan kita bukan. Ini pilihan Saya” .
Melihat penggalan resensi di atas dapat diketahui bahwa walaupun ini hanya sebuah film tetapi ini menggambarkan bahwa memang sudah sejak dulu ada pemikiran tradisional yang melegalkan bahwa perempuan tidak harus sekolah tinggi dan mereka harus segera menikah dan mempunyai anak. Itu artinya mereka secara tidak langsung dituntut untuk bekerja hanya dalam wilayah domestik saja. Ada pantangan tersendiri yang membatasi lingkup kepentingan perempuan dalam urusan pilihan bekerja di wilayah publik. Hal itu semakin parah karena dalam sekolahnya pun perempuan sering termarjinalkan dan juga mereka memang dibentuk untuk mengurus rumah tangga saja. Hal itu misalnya yaitu dalam buku pelajaran anak Tk, ada contoh kalimat yang berbau gender yaitu IBU PERGI KE PASAR, AYAH PERGI KE KANTOR. Hal itu jelas memberikan gambaran secara umum dan terselubung kepada anak bahwa mereka nantinya yang perempuan akan bekerja memasak, menyetrika, memasak, ataupun hal lain yang menjadi urusan rumah tangga dari perempuan.
Lanjut ke masalah contoh film tadi, kemudian perempuan mulai tersadar bahwa mereka harus memperjuangkan haknya untuk menentukan pilihannya. Namun walaupun perempuan sudah menyadari akan haknya yang kemudian mereka memilih untuk bekerja di sektor publik namun tetap saja pada akhirnya mereka akan merasa mendapat tekanan untuk kembali ke sektor domestik mereka. Tekanan itu bisa muncul dari ekstern diri seseorang tetapi bisa juga dari intern seseorang yaitu tekanan batin. Dari segi fisik memang mereka melakukan pekerjaan publik namun akibat adanya tekanan tersebut mereka merasa bahwa bukan di situ kewajiban mereka. Hingga pada akhirnya mereka harus mengorbankan hak meraka dan memilih untuk mengurus rumah tangga kembali. Semangat yang semula menggebu dalam diri mereka kemudian padam akibat hal tersebut. Sungguh merupakan ironi bila mengetahui hal tersebut padahal perempuan sekarang sedang gencar memperjuangkan hak mereka.
Selanjutnya berbicara mengenai masalah tentang keputusan wanita untuk memilih bekerja di sektor publik ataupun domestik, ada satu contoh kasus lagi yang menggambarkan bahwa perempuan yang semula memilih sektor publik kemudian harus mengalah dan pada akhirnya kembali ke ranah domestik lagi. Contoh kasus ini terjadi secara nyata karena berada di lingkungan keluarga saya, berikut penjelasannya :
Saya lahir dari 5 bersaudara. Saya mempunyai 2 kakak perempuan dan 2 kakak laki-laki. Kakak perempuan saya yang juga berada tepat di atas saya adalah etty. Ia merupakan lulusan sarjana pertanian dari Universitas Muhammadiyah Malang. Seharusnya sebagai seorang lulusan sarjana apalagi pada waktu dulu, ia dengan mudah mendapatkan pekerjaan karena memang lulusan sarjana pada waktu itu masih jarang. Namun pada kenyataannya ternyata ia pun mengalami hambatan-hambatan dalam memperoleh pekerjaan. Hingga pada akhirnya ia mendapat pekerjaan untuk bekerja di perusahaan farmasi Dexa Edica yang beroperasi di Bintaro jakarta. Kemudian ia menikah dengan suaminya dan dikaruniai 1 orang putra. Awalnya kakak saya masih bisa mengimbangi antara mengurusi anak dan pekerjaan. Namun lama kelamaania merasa berat apalagi terus diberikan tekanan dari suami untuk mengurusi rumah saja. Hingga kemudian kakak saya lebih memilih mengurusi urusan rumah tangga saja dan dengan berat hati meninggalkan pekerjaannya.
Beberapa waktu kemudian kakak saya mengalami sedikit masalah ekonomi karena pada waktu itu harga barang-barang sembako mengalami peningkatan yang luar biasa hebat. Sang suami juga merasa sedikit berat dengan harga kebutuhan yang melambung tinggi. Kemudian kakak saya kembali memutuskan untuk menggeluti pekerjaan publik kembali. Hingga kemudian ia diterima bekerja di sebuah bank swasta di Jakarta. Seiring berjalannya waktu kemudian ia pun dikaruniai anak kedua. Seperti dengan kejadian pertama ia pun harus meninggalkan kembali pekerjaannya dan mengurusi urusan rumah tangganya. Hal itu berlanjut hingga sekarang ini.
maaf bila masih banyak kesalahan dalam penulisan karena memang source yang kurang lengkap
tampilannya sangat menarik, dan isinya sangat bagus untuk dijadikan artikel . .
dan lagi penyusunannya sudah sistematik