FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN KELUARGA MISKIN SULIT MENDAPATKAN PELAYANAN KESEHATAN (STUDI KASUS DI DESA JUANALAN KECAMATAN PATI KABUPATEN PATI)
Nama : Galih Lumaksono
NIM : 3401409002
Jurusan : Pendidikan Sosiologi Antropologi
TINJAUAN PUSTAKA
Berdasarkan penelitian serupa yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sahna Sahara Qolbi mahasiswi jurusan Pendidikan Sosiologi dan Antropologi Universitas Negeri Semarang pada tahun 2009 yang berjudul “PERAN PUSKESMAS DALAM PELAYANAN KESEHATAN KELUARGA MISKIN DI DESA JEBED SELATAN KECAMATAN TAMAN KABUPATEN PEMALANG” berkesimpulan bahwa pelayanan kesehatan terutama yaitu lembaga pukesmas di desa Jebed pada keluarga miskin masih dirasa belum optimal. Kinerja petugas kesehatan pada umumnya masih kurang baik, keluarga miskin banyak mengeluhkan lambatnya proses pelayanan dan penanganan masalah rujukan meski demikian keluarga miskin tetap antusias terhadap pelayanan kesehatan di puskesmas tersebut. Hal itu dikarenakan keberadaan puskesmas yang dekat, biaya pengobatan yang murah dan sikap petugas yang ramah. Hal itu nampaknya masih menjadi semacam pendorong yang kuat bagi masyarakat untuk tetap datang ke pukesmas tersebut. Namun di sisi lain terdapat faktor yang menjadi penghambat puskesmas dalam melayani kesehatan keluarga miskin di desa jebed selatan adalah karena banyak keluarga miskin yang tidak memiliki jamkesmas hal ini yang membuat para petugas puskesmas megalami kesulitan dalam penanganan masalah rujukan terkait pelayanan kesehatan yang dimaksudkan.
Dalam penelitian ini disebutkan pula mengenai masalah pengetahuan kesehatan yang kemudian melatarbelakangi masyarakat dalam usaha dan kesadaran dalam diri masyarakat memperoleh layanan kesehatan yang diharapkan. Pengetahuan kesehatan meliputi beberapa hal yang terkait yaitu: pertama, pengetahuan tentang penyebab penyakit, gejala-gejala, cara pengobatan atau kemana mencari pengobatan, cara penularan penyakit, dan cara pencegahan penyakit. Kedua, pengetahuan tentang cara-cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat seperti pengetahuan tentang pentingnya olahraga, menghindari rokok, minuman keras, dan narkoba, istirahat yang cukup, makanan bergizi dan sebagainya. Ketiga, pengetahuan tentang kesehatan lingkungan, seperti meliputi manfaat air bersih, cara-cara pembuangan limbah dan sampah akibat populasi dan sebagainya.
Penelitian yang serupa juga adalah pada penelitian yang dilakukan oleh Ardi Tambunan mahasiswa Universitas Sumatera Utara pada tahun 2009 dengan judul “RESPON MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM KESEHATAN OLEH RUMAH SAKIT UMUM HKBP BALIGE DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR” ,dijelaskan bahwa masyarakat dalam mendapat layanan kesehatan yang sewajarnya selalu mendapatkan hambatan-hambatan yang dapat mempengaruhi niat dan tujuan seseorang untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Hal itu selalu terjadi di lapisan masyarakat menengah ke bawah karena memang dipengaruhi faktor-faktor yang bersifat intern maupun ekstern dari lingkungan masyarakat tersebut. Agar suatu pelayanan kesehatan dapat mencapai tahapan yang diharapkannya, maka harus memenuhi beberapa criteria dalam pelayanan kesehatan yaitu meliputi :
1. Ketersediaan Pelayanan Kesehatan
Artinya suatu pelayanan kesehatan akan bermutu apabila tersedia di dalam aspek kehidupan di dalam masyarakat.
2. Kewajaran Pelayanan Kesehatan
Artinya pelayanan kesehatan dikatakan bermutu apabila dapat bersikap wajar, dalam arti dapat menyelesaikan masalah kesehatan yang dihadapi.
3. Kesinambungan dalam Pelayanan Kesehatan
Artinya pelayanan kesehatan dikatakan bermutu apabila dapat berkesinambungan, dalam arti tersedia setiap saat baik dalam hal waktu maupun kebutuhan pasien.
4. Penerimaan Pelayanan Kesehatan
Artinya pelayanan kesehatan dikatakan telah berhasil dan bermutu apabila dapat diterima oleh pemakai jasa pelayanan kesehatan.
5. Ketercapaian dalam Pelayanan Kesehatan
Artinya pelayanan kesehatan dikatakan bermutu apabila dapat dicapai oleh pemakai layanan kesehatan tersebut.
6. Keterjangkauan Pelayanan Kesehatan
Artinya pelayanan kesehatan bermutu apabila dapat dijangkau oleh pemakai layanan kesehatan.
7. Efisiensi Pelayanan Kesehatan
Artinya pelayanan kesehatan dikatakan bermutu apabila pelayanan kesehatan tersebut dapat dijalankan secara efisien.
8. Mutu Pelayanan Kesehatan
Artinya pelayanan kesehatan bermutu apabila pelayanan tersebut dapat menyembuhkan pasien serta tindakan yang dilakukan aman.
Dalam penelitian ini dijelaskan pula bahwa Jamkesmas adalah suatu program yang coba dicanangkan oleh pemerintah untuk nantinya dapat berguna membantu dalam mendapatkan layanan kesehatan di instalasi kesehatan tertentu. Hal itu tentu saja sangatlah membantu kalangan masyarakat terutama yang tergolong sebagai keluarga miskin karena beban mereka sedikit berkurang dan dapat sedikit lebih lega dalam masalah kesehatan. Namun hal itu dapat terlaksana apabila prosedur yang sewajarnya dapat dilaksanakan oleh semua personil yang berperan dalam masalah tersebut. Tetapi fakta yang terjadi sebenarnya di lapangan tidak sesuai dengan apa nyang diharapkan karena telah diketahui bahwa ternyata program tersebut seakan sedikit dipersulit dalam mengaksesnya. Masyarakat terutama yang tergolong masyarakat miskin yang semula bersifat antusias tampaknya mulai sedikit berkurang. Banyak hal yang mempengaruhinya salah satunya yaitu prosedur yang berbelit-belit untuk mendapat surat yang digunakan untuk merujuk ke instalasi kesehatan tertentu dan hal yang lain yang juga menjadi faktor penghambat masyarakat dalam mengakses program layanan tersebut. Namun di sisi lainnya, ternyata ditemukan fakta bahwa ada sebagian masyarakat yang memberikan sikap yang positif dalam pelaksanaan program kesehatan tersebut. Hal itu dapat dilihat dari sikap positif yang ditunjukkan oleh masyarakat dalam masalah terkait pelayanan dokter, kebersihan lingkungan instalasi kesehatan, ketersediaan obat, dan pengurusan surat terkait masalah program Jamkesmas.
Selanjutnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Singgih Hartono mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta pada skripsinya tahun 2009 yang berjudul “TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN JAMINAN KESEHATAN BAGI MASYARAKAT MISKIN DI KABUPATEN SUKOHARJO”, dia menjelaskan mengenai masalah yang berkaitan dalam pelaksanaan Jamkesmas di dalam prosedur pelaksanaanya dalam pelayanan kesehatan. Namun yang cukup menarik di sini adalah dikemukakan bahwa Upaya-upaya pelayanan kesehatan penduduk miskin, memerlukan penyelesaian menyeluruh dan perlu disusun strategi serta tindak pelaksanaan pelayanan kesehatan yang peduli terhadap penduduk miskin.
Pelayanan kesehatan peduli penduduk miskin meliputi upaya-upaya sebagai berikut:
1. Membebaskan biaya kesehatan dan mengutamakan masalah-masalah kesehatan yang banyak diderita masyarakat miskin seperti TBC, malaria, kurang gizi, PMS dan berbagai penyakit infeksi lain dan kesehatan lingkungan.
2. Mengutamakan penanggulangan bagi penyakit penduduk yang tidak mampu
3. Meningkatkan penyediaan serta efektifitas berbagai pelayanan kesehatan masyarakat yang bersifat non personal seperti penyuluhan kesehatan, regulasi pelayanan kesehatan termasuk penyediaan obat, keamanan dan fortifikasi makanan, pengawasan kesehatan lingkungan serta kesehatan dan keselamatan kerja.
4. Meningkatkan akses dan mutu pelayanan kesehatan penduduk tidak mampu
5. Realokasi berbagai sumber daya yang tersedia dengan memprioritaskan pada daerah miskin
6. Meningkatkan partisipasi dan konsultasi dengan masyarakat miskin. Masalah kesehatan masyarakat bukan masalah pemerintah saja melainkan masalah masyarakat itu sendiri karena perlu dilakukan peningkatan pemberdayaan
Kemiskinan dan Kesehatan
Kemiskinan dan kesehatan adalah dua hal yang sangat berkaitan satu sama lain. Walaupun keduanya tidak berhubungan namun sekarang dapat dikaji keterkaitan antara keduanya. Dalam suatu masyarakat tentunya dapat dibedakan mana yang merupakan tergolong sebagai masyarakat kaya, menengah, dan miskin. Adanya penggolongan tersebut juga berimbas dalam masalah aspek kehidupannya, termasuk di dalamnya yaitu aspek kesehatan. Dapat diibaratkan misalnya dalam suatu keluarga yang tergolong kaya maka kualitas kehidupannya akan jauh lebih baik termasuk dalam urusan kesehatannya. Hal ini jelas berlawanan dengan keluarga yang tergolong miskin, jangankan memperhatikan kesehatan dalam urusan makan pun mereka terkesan kesulitan.
Menurut Parsudi Suparlan, kemiskinan secara singkat dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan individu dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar hidup yang rendah tersebut nampak langsung pengaruhnya terhadap tingkat kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri mereka yang tergolong sebagai kaum miskin (Suparlan dalam Mustofa, 2005:47).
Keluarga miskin dapat diartikan sebagai keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan hidup anggotanya secara layak dari segi materi. Menurut Azwar, keluarga miskin adalah keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar minimumnya (Kantor Menteri Negara Kependudukan/ BKKBN, 1996:6). Sedangkan menurut Mongid, yang dimaksud keluarga miskin adalah keluarga yang belum dapat memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal seperti kebutuhan spiritual, pangan, sandang, papan, dan kesehatan. (BKKBN, 1996:7).
Indikator keluarga miskin menurut BKKBN Provinsi Jawa Tengah terbagi menjadi 2 yaitu keluarga miskin dan keluarga miskin sekali :
- Keluarga miskin
Keluarga miskin adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :
1. Paling kurang seminggu sekali keluarga makan daging, ikan dan telur.
2. Setahun terakhir anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru.
3. Luas lantai rumah paling kurang 8 m persegi untuk tiap penghuni.
- Keluarga miskin sekali
Keluarga miskin sekali adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi :
1. Pada umumnya seluruh anggota keluarga makan dua kali sehari atau lebih.
2. Anggota keluarga memiliki pakaian yang berbeda untuk di rumah bekerja dan bepergian.
3. Bagian lantai terluas yang bukan dari tanah.
Layanan kesehatan
Pelayanan kesehatan merupakan faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan masyarakat karena keberadaan fasilitas kesehatan sangat menentukan dalam pelayanan pemulihan kesehatan, pencegahan terhadap penyakit, pengobatan, dan ke[perawatan serta kelompok dan masyarakat yang memerlukan pelayanan kesehatan (dalam Effendy, 1998:152).
(Menurut Kasl dan Cobb, 1996) biasanya orang terlibat dalam kegiatan medis karena tiga alasan yaitu, pertama untuk pencegahan penyakit atau pemeriksaan kesehatan pada saat gejala penyakit belum dirasakan (perilaku sehat). Kedua untuk mendapatkan diagnosis penyakit dan tindakan yang diperlukan jika ada gejala penyakit yang dirasakan (perilaku sehat). Ketiga untuk mengobati penyakit jika penyakit tertentu telah dipastikan, agar sembuh dan sehat seperti sediakala atau penyakit tidak bertambah parah.
Menurut Aday dan Anderson (1974) sistem pemberian layanan kesehatan meliputi distribusi sumber daya, misalnya tenaga dan uang yang dianggarkan untuk layanan kesehatan, cara memperoleh layanan, dan struktur organisasi pelayanan. Selain itu juga dipengaruhi oleh kemampuan keluarga seperti penghasilan jangkauan asuransi kesehatan dan pelayanan regular serta sumber daya komunitas seperti tersedianya dan kemudahan pelayanan medik (Muzaham 1995:61).
Penyakit
Penyakit dimaksudkan sebagai suatu konsepsi medis yang menyangkut suatu keadaan tubuh yang tidak normal karena sebab-sebab tertentu yang dapat diketahui oleh para ahli melalui tanda-tanda dan gejalanya. (Muzaham, 1995:179).
Foster (1986: 175-180) berpendapat bahwa penyakit dapat memenuhi peranan sosialnya yaitu:
· Penyakit merupakan pelepasan dari tekanan yang tidak tertahankan
Apabila individu dinyatakan sakit maka kegagalan untuk melakukan fungsi normal bukanlah kesalahan dari individu yang sakit tersebut sehingga individu yang sakit diberikan pembebasan serta perawatan. Peranan sakit dapat membebaskan aktor sosial dari tanggung jawab individu dewasa, dengan kondisi yang sakit, individu memiliki alasan yang kuat untuk dapat dirawat oleh individu yang lain.
· Penyakit membantu menanggung kegagalan pribadi
Penyakit merupakan salah satu cara untuk mengatasi kegagalan. Sakit merupakan suatu ketidakmampuan untuk memenuhi tugasnya dan cara untuk menghindar dari tanggung jawab yang diterima. Individu yang sedang mengalami kegagalan dapat membenarkan kegagalan pada diri sendiri atau pada kelompok melalui ketidakmampuan individu bertindak sebagai akibat dari penyakit.
· Sakit dapat digunakan untuk memperoleh perhatian
Konvensi kebudayaan menekankan bahwa individu yang sakit harus menerima perhatian yang khusus. Penyakit merupakan sarana untuk memperoleh perhatian terutama bagi individu yang kesepian atau individu yang merasa tersisih.
· Masuk rumah sakit dianggap sebagai liburan
Individu yang menderita sebuah gangguan kesehatan ringan dapat menjadikan gangguan kesehatan ini sebagai penyakit padahal secara medis individu ini belum memerlukan perawatan khusus di rumah sakit namun masuk rumah sakit bagi sebagian inidividu dapat dijadikan sebagai sarana untuk memperoleh liburan dari pekerjaan sehari-hari.
· Penyakit dapat digunakan sebagai alat kontrol sosial
Penyakit di sini memiliki peran yaitu bahwa apabila di saat seseorang mampu menggunakan keadaan sakitnya untuk nantinya dapat mengubah keadaan yang semula seperti yang diinginkannya. Hal ini misalnya yaitu ada orang tua yang sudah merasa jenuh dengan perilaku nakal anaknya, kemudian sang orang tua menggunakan keadaan sakitnya untuk mempengaruhi anaknya agar dapat mengubah perilaku yang dimiliki. Hal itu sangatlah mungkin terjadi karena sang anak tentunya akan merasa berdosa apabila sampai tidak menuruti permintaan orang tua yang sedang sekarat seperti itu.
· Penyakit dapat dijadikan alat untuk menghapus perasaan berdosa
Penyakit dikaitkan dengan kepercayaan bahwa penyakit merupakan upah atau kutukan terhadap suatu pelanggaran maupun akibat dari dosa yang telah menyebabkan kemarahan dari dewa. Penyakit memberikan individu untuk bertaubat atas kesalahannya. Pelanggaran ini dapat berupa pelanggaran terhadap larangan atas alam semesta, agama, kepercayaan, dan sebagai adat istiadat (Lumenta, 1989:40)
LANDASAN TEORI
Dalam sebuah penelitian sangatlah dibutuhkaan adanya sebuah teori. Hal ini menjadi mutlak perlu karena setiap penelitian membutuhkan sebuah acuan yang sudah teruji kebenarannya untuk nantinya membuat sebuah kesimpulan penelitian yang bersifat valid. Maka di situlah peran sebuah teori dibutuhkan.
Teori adalah sebuah seperangkat konstruk (konsep), definisi, dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena (Kerlinger, 1978).
Untuk itu maka dalam penelitian ini juga dibutuhkan adanya suatu teori yang nantinya dapat menjelaskan secara ilmiah mengenai hal-hal yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini. Teori yang digunakan dalam penelitian ini mencakup 2 teori yaitu masing-masing Teori Kepercayaan Kesehatan (health belief model) dan Teori Struktural Fungsional.
Teori Kepercayaan Kesehatan (health belief model)
Model dari pengembangan teori ini awal mulanya berasal dari teori yang telah mapan dalam bidang psikologi dan ilmu perilaku dan hamper sama dengan model pengambilan keputusan (decision making model) yang dikemukakan oleh Lewin, Tolman, Rotter, Edwards, Atkinson, dan lain-lain. Walaupun begitu namun model pendekatan ini sering digunakan oleh para sosiolog untuk mengkaji permasalahan yang ada di masyarakat terutama yang berkaitan dengan masalah kesehatan.
Hipotesis dari model pendekatan ini adalah bahwa orang tidak akan mencari pertolongan medis atau pencegahan penyakit apabila mereka kurang mempunyai pengetahuan dan motivasi minimal yang relevan dengan hal kesehatan, bila mereka memandang keadaan tidak cukup berbahaya, bila tidak yakin terhadap keberhasilan suatu intervensi medis, dan bila mereka melihat adanya beberapa kesulitan dalam melaksanakan perilaku kesehatan yang disarankan (Rosenstock, 1974).
Pada dasarnya model pendekatan ini terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut :
a) Kesiapan seseorang untuk melakukan suatu tindakan ditentukan oleh pandangan orang itu terhadap bahaya penyakit tertentu, dan persepsi terhadap kemungkinan akibat (fisik dan sosial) bila terserang penyakit tersebut.
b) Penilaian seseorang terhadap perilaku kesehatan tertentu dipandang dari sudut kebaikan dan kemanfaatan. Kemudian dibandingkan dengan persepsi terhadap pengorbanan (fisik, uang, dan lain-lain) yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan tindakan tersebut.
c) Suatu “kunci” untuk melakukan tindakan kesehatan yang tetap harus ada baik dari sumber internal (misalnya, gejala penyakit), maupun eksternal (misalnya, interaksi interpersonal, komunikasi massa).
Dalam model ini dapat dipahami bahwa perbedaan factor demografis, personal, struktural, dan sosial mempengaruhi perilaku kesehatan, namun secara variabel itu sebenarnya mempengaruhi persepsi dan motivasi individu, bukan berfungsi sebagai penyebab langsung dari suatu tindakan (Becker dkk., 1977).
Dari penjelasan teori tadi apabila dikaitkan dengan permasalahan yang ada di dalam penelitian ini adalah bahwa adanya suatu faktor yang mempengaruhi seorang individu atau lebih tepatnya di sini keluarga miskin untuk merasa terdorong dan termotivasi untuk memperoleh layanan kesehatan yang sewajarnya diterimanya. Faktor-faktor yaitu meliputi lokasi tempat tinggalnya yang jauh dari instansi kesehatan dan jumlah keluarga miskin yang sangat banyak (faktor demografis), pengetahuan kesehatan yang masih sangat dangkal yang dimiliki seorang individu karena kemiskinan (faktor personal), prosedur pelayanan kesehatan bagi keluarga miskin yang sangat berbelit dan buang-buang waktu (faktor struktural), dan pengaruh dari masyarakat yang lebih suka mengobati diri sendiri daripada harus datang ke dalam instansi pelayanan kesehatan terdekat (faktor sosial).
Selain itu dapat dikaitkan pula bahwa seseorang akan merasa sedikit kurang termotivasi untuk meminta layanan kesehatan apabila keadaan yang dideritanya belum dirasa sangat membahayakan dirinya. Hal ini sangat berkaitan dengan tingkat pengetahuan kesehatan yang sangat kurang pada lapisan masyarakat bawah yang berada dalam zona kemiskinan. Jangankan mengerti masalah pengetahuan kesehatan, mencari sepeser uang untuk mengobati rasa lapar saja masih sangat kesulitan. hal itu dapat dicontohkan misalnya, ada sebuah keluarga yang tergolong miskin, pada suatu saat salah satu anggota keluarganya mengalami sakit batuk. Bagi mereka hal itu adalah penyakit yang biasa saja dan tidak perlu mendapat layanan kesehatan karena dengan pengobatan sendiri saja dapat disembuhkan. Namun apabila diteliti lebih lanjut jenis batuk terdapat juga yang dapat menimbulkan kematian apabila tidak ditangani secara tepat. Sakit batuk tersebut adalah Tuberkulose atau sering disebut dengan TBC. Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa teori ini memang relevan dengan permasalahan pada penelitian ini, sehingga penggunaan teori ini dibutuhkan nantinya untuk menyelesaikan masalah dalam penelitian ini.
Teori Struktural Fungsional
Teori ini merupakan teori yang sering digunakan dalam objek kajian ilmu sosiologi. Menurut teori ini masyarakat diumpamakan dengan sebuah makhluk raksasa, makhluk yang terdiri dari bagian-bagian yang berfungsi secara integral dalam mempertahankan kelangsungan hidup suatu sistem sosial (Muzaham, 1995).
Menurut teori ini untuk memahami suatu bagian tertentu atau struktur tertentu yang ada di dalam masyarakat maka harus dilihat fungsi yang diberikan terhadap keseluruhan sistem yang ada. teori ini tidak mempersoalkan sejarah terbentuknya suatu kebiasaan atau praktek dakam suatu masyarakat akan tetapi yang dilihat adalah konsekuensinya bagi kehidupan dan perkembangan dalam suatu masyarakat.
Dalam suatu masyarakat tentunya tak terlepas dari adanya suatu sistem yang berkaitan erat dengan kelompok sosial. Kehidupan suatu kelmpok sosial tidak akan dapat dipertahankan bila struktur yang ada di dalamnya tidak dapat memenuhi prasyarat fungsional dari setiap kelompok sosial. Talcott Parsons yang merupakan penggagas teori ini membuat suatu konsep yang di dalamnya berisikan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh suatu sistem sosial. Syarat-syarat yang dimaksud adalah meliputi :
a) Perlu adanya suatu tekhnologi yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makan, pakaian, dan perumahan para anggota kelompok. Ini merupakan fungsi utama yang harus dipenuhi oleh suatu struktur social, sebagai jawaban atas tantangan lingkungan alam sekitarnya.
b) Manusia sebagai makhluk biososial mempunyai kebutuhan emosional, spiritual, serta kebudayaan yang sangat rumit. Semua masyarakat perlu cara untuk mengatasi ketegangan emosional.
c) Karena hidup orang hidup berkelompok maka setiap anggota harus mengkoordinasikan dan mengintegrasikan kebutuhan-kebutuhan pribadinya dengan kebutuhan suatu kelompok. Untuk itu diperlukan aturan dan prosedur tentang posisi seseorang dalam pekerjaannya serta cara seseorang melaksanakan pekerjaannya.
Dalam teori ini dikemukakan suatu konsep teori yang lebih spesifik yaitu mengenai teori perimbangan (equilibrium theory). Menurut teori ini komponen-komponen dalam suatu sistem sosial selalu berada dalam suatu keadaan yang dikatakan seimbang. Suatu sistem akan rusak atau bahkan hancur apabila dalam sistem tersebut salah satu unsurnya hilang atau tidak berperan sebagaimana mestinya. Keseimbangan yang semula ada tentunya akan hilang dengan sendirinya dan berganti menjadi disfungsi yang terjadi pada sistem tersebut. Namun teori ini juga beranggapan bahwa bila suatu saat keseimbangan komponen-komponen tersebut terganggu maka ketidakseimbangan itu akan dipulihkan secara otomatis.
Teori ini dirasa penting untuk digunakan dalam penelitian ini adalah karena bahwa dalam mengkaji faktor apa saja yang menjadi penghambat orang miskin sulit mendapat layanan kesehatan diibaratkan sebagai suatu sistem utuh yang di dalmnya terdapat sub-sub sitem tertentu yang saling terkait satu sama lain. Sekarang dianggap saja pelayanan kesehatan sebagai suatu sistem utuh yang utama, dan kemudian di dalamnya terdapat sub-sub komponen yang mempengaruhi proses layanan kesehatan tersebut. Sub komponen itulah yang kemudian diibaratkan seperti faktor-faktor penghambat orang miskin sulit mendapatkan layanan kesehatan tersebut. Apabila salah satu sub sistem tersebut hilang atau tidak terpenuhi, maka dipastikan tentunya akan mengganggu keseimbangan sistem utama yang telah ada sebelumnya. Hal ini relevan dengan keadaan yang terjadi apabila salah satu faktor yang dibutuhkan orang miskin dalam mengakses layanan kesehatan tidak terpenuhi, maka akan memunculkan masalah yaitu nantinya tidak akan dapat berjalan proses pelayanan tersebut.
Dalam suatu penelitian tentunya dibutuhkan adanya suatu kerangka berpikir agar nantinya dalam mempermudah pembaca dapat menangkap alur pemikiran peneliti dalam mengidentifikasi permasalahan dalam penelitian ini. Kerangka pikir dalam penelitian adalah meliputi pada awalnya terdapat suatu masyarakat lebih khususnya yaitu keluarga miskin yang di dalamnya terdiri dari sekumpulan orang-orang yang menempati wilayah tertentu. Pada keberlanjutannya mereka menghadapi suatu masalah yang berkaitan dengan masalah kesehatan yaitu adanya suatu penyakit yang menyerangnya. Adanya hal itu maka sebelumnya dalam keluarga tersebut sudah terdapat pemahaman suatu pengetahuan kesehatan yang nantinya akan membantu dalam menentukan langkah-langkah yang tepat untuk mengatasi penyakit tersebut melalui bentuk pelayanan kesehatan di rumah sakit atau instalasi kesehatan yang lainnya. Namun pada kenyataannya banyak keluarga miskin yang tidak mempunyai pengetahuan kesehatan tersebut yang kemudian menjadi salah satu faktor penghambat keluarga miskin tersebut dalam mendapatkan layanan kesehatan. Faktor ini dapat faktor intern ataupun intern dalam keluarga tersebut.